Opini – Gelombang demonstrasi dengan tuntutan pembubaran DPR RI dalam beberapa hari terakhir bukan sekadar luapan emosi sesaat, melainkan refleksi dari akumulasi panjang kekecewaan rakyat. Ribuan orang yang turun ke jalan menandakan bahwa kepercayaan terhadap lembaga legislatif sudah benar-benar runtuh.
Secara normatif, DPR seharusnya menjadi representasi suara rakyat, menjaga kepentingan publik, serta mengawasi jalannya pemerintahan. Namun, kenyataan jauh berbeda. Maraknya kasus korupsi, absennya anggota dalam sidang, hingga lahirnya kebijakan yang lebih berpihak pada kelompok elite, membuat DPR kian tampak terasing dari rakyat yang diwakilinya.
Jurang Kesenjangan Rakyat–DPR
Kekecewaan publik kian menebal karena beberapa faktor utama:
RUU Perampasan Aset macet di parlemen, padahal publik menilai regulasi ini sangat penting untuk mengembalikan kekayaan hasil korupsi.
Isu kenaikan gaji dewan di tengah krisis ekonomi, menimbulkan kesan DPR hanya mementingkan diri sendiri.
Kebijakan pajak dan pungutan baru yang justru menekan rakyat kecil.
Kasus korupsi yang terus berulang, seolah telah menjadi budaya politik.
Peran anggota dewan sebagai calo proyek, yang mereduksi DPR menjadi agen bisnis ketimbang lembaga representasi rakyat.
Jurang kesenjangan inilah yang membuat rakyat kehilangan saluran aspirasi, hingga akhirnya menjadikan jalanan sebagai ruang terakhir untuk bersuara.
Korban Jiwa: Tragedi Demokrasi
Aksi demonstrasi yang menelan korban memperlihatkan kegagalan serius dalam manajemen konflik politik di Indonesia. Puluhan demonstran terluka dan seorang pengemudi ojek online tewas. Investigasi terhadap tujuh aparat menjadi bukti bahwa prosedur pengamanan tidak dijalankan sebagaimana mestinya.
Tragedi ini memperlihatkan paradoks demokrasi: DPR yang melahirkan kebijakan tidak pro rakyat, justru bersembunyi di kursi kekuasaan; aparat kepolisian dipaksa menjadi tameng menghadapi gelombang amarah publik; sementara rakyat sendiri harus menanggung luka hingga kehilangan nyawa.
Demokrasi di Persimpangan Jalan
Jika DPR terus kehilangan legitimasi, maka demokrasi Indonesia ikut terancam. Demokrasi tanpa kepercayaan publik hanyalah prosedur kosong. Lebih berbahaya lagi, tuntutan bubarkan DPR bisa membuka jalan bagi sistem politik yang lebih sentralistik bahkan otoriter, sebab rakyat yang kecewa bisa tergoda pada model kekuasaan yang dianggap lebih efektif.
DPR tidak boleh menutup mata. Gelombang protes yang menelan korban harus dijadikan titik balik melalui langkah nyata:
Segera mengesahkan RUU Perampasan Aset dan regulasi antikorupsi.
Menghentikan wacana kenaikan gaji di tengah krisis.
Menutup celah kebocoran anggaran dengan pengawasan ketat.
Membersihkan lembaga dari praktik percaloan proyek.
Membuka ruang partisipasi publik yang lebih transparan.
Penutup
Pesan rakyat sudah terang: kesabaran mereka habis. Demonstrasi yang berujung korban hanyalah puncak gunung es dari krisis kepercayaan yang lebih dalam. DPR kini berada di persimpangan: melakukan reformasi serius atau perlahan ditinggalkan rakyat.
Jika tetap dibiarkan, sejarah akan kembali mencatat bahwa perubahan besar lahir dari jalanan, bukan dari kursi kekuasaan di Senayan.
(Penulis adalah dosen, pemerhati isu sosial dan lingkungan, serta mentor kepemudaan–kebangsaan).